TRADISI MENGGANTI KAIN KAFAN

 

            Tradisi mengganti kain kafan mungkin tidak seterkenal upacara Ngaben di Bali ataupun upacara Rambu Solo di Tana Toraja Sulawesi Selatan. Tradisi mengganti kain kafan ini memang tidak terekspose karena letaknya di  pelosok desa tepatnya di desa Birem Kecamatan Tambelangan Kabupaten Sampang.


TRADISI MENGGANTI  KAIN KAFAN


            Pengalaman ini berawal dari ketika saya ditugaskan sebagai Pegawai Negeri Sipil di Kabupaen Sampang tepatnya pada tahun 2000. Ketika saya terima SK penugasan, ternyata saya harus mengajar di SDN Birem IV yang jarak dari kota Sampang ke Kecamatan Tambelangan  sekitar 24 Km. Arah untuk menuju ke Kecamatan Tambelangan dari kota Sampang yaitu lurus dari arah terminal Sampang ke barat sampai ke kecamatan Jrengik. Di sebelah timur kantor Kecamatan Jrengik ada jalan pertigaan yang menuju ke arah utara. Dari pertigaan itulah arah ke kecamatan Tambelangan yang berjarak sekitar 9 Km. Adapun jarak dari Kecamatan Tambelangan ke SDN Birem IV sekitar 12 Km. Itupun jalur yang saya lalui sangat sulit ditempuh oleh transportasi umum. Jadi saya harus naik sepeda motor untuk sampai ke tempat saya mengajar. Walapun jalan yang saya lalui untuk menuju ke sekolah SDN Birem IV beraspal tetapi sudah sangat rusak dan berlubang. Jadi saya harus lebih berhati-hati karena dengan kondisi jalan yang seperti itu sering membawa korban baik dari teman guru atau warga yang sedang melalui jalan tersebut. Setelah sampai ke jalan yang akan menuju ke tempat saya bertugas, juga harus saya lalui dengan penuh perjuangan  apalagi kalau musim hujan saya harus berjalan sejauh 5 Km dan sepeda saya titipkan ke tokoh masyarakat di pinggir jalan beraspal karena 5 Km itu jalannya tidak beraspal sehingga sangat sulit dilalui oleh sepeda motor. Saya dan teman-teman bahkan tidak memakai alas kaki karena struktur tanah di daerah itu mudah lengket dan licin sehingga kalau dipaksa memakai alas kaki baik sepatu ataupun sandal dapat menyebabkan alas kaki rusak bahkan sangat beresiko tergelincir.


            Pertama kali saya bertugas di SDN Birem IV, saya betul-betul tidak menduga bahwa kondisi sekolah SDN Birem IV masih menumpang di mushalla milik warga dan selalu berpindah-pindah dari Mushalla satu ke mushalla milik warga yang lain tetapi dalam satu desa yaitu desa Birem. Hal ini berlangsung sekitar 5 tahun.  Adapun kondisi siswa sangat memprihatinkan karena semua siswa tidak memakai seragam dan hanya memakai baju biasa dengan bawahannya memakai sarung untuk siswa laki-laki, sedangkan untuk siswa perempuan bawahannya memakai sampir. Semua siswa tidak ada  yang bersepatu.  Hal ini dikarenakan kondisi ekonomi masyarakat yang sangat sulit. Kalau musim penghujan otomatis di daerah tersebut banyak siswa yang tidak bersekolah karena membantu para orang tua bercocok tanam, bahkan sebagian ikut bekerja menjadi buruh tani untuk mendapatkan upah agar dapat membantu perekonomian orang tuanya.

            Dengan kondisi  jumlah tenaga pengajar dua orang dengan satu Kepala Sekolah sehingga kami harus mengajar satu guru mengajar dua kelas. Jadi kami di sekolah tersebut mengajar secara maraton karena keterbatasan jumlah tenaga pengajar apalagi tidak adanya guru mapel seperti Guru Agama dan guru Olahraga. Tetapi kami sebagai tenaga pengajar di daerah yang sangat terpencil sedikit terhibur dengan keramahan masyarakatnya. Bahkan di daerah Birem seorang guru sangat dihargai. Hal ini saya rasakan ketika ada  perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW di desa Birem , kami selalu di undang ke rumah warga untuk ikut merayakan acara Maulid Nabi Muhammad SAW. Dan bagi masyarakat Birem merupakan sebuah kehormatan dan kebahagiaan bagi mereka apabila ada guru dari anak mereka berkenan hadir dan mencicipi suguhan yang mereka berikan.dan mereka akan merasa tidak dihargai apabila suguhan tersebut tidak dihabiskan oleh guru dari anak mereka. Sehingga pertama kali saya menghadiri undangan wali murid, saya merasa kaget karena pada waktu itu yang mengundang ada lima orang dan secara otomatis kami harus bisa menghabiskan suguhan yang di berikan oleh lima wali murid tersebut.

Melihat semangat kami dan siswa dalam kegiatan belajar mengajar, akhirnya salah satu tokoh masyarakat di desa Birem berinisiatif menemui bapak bupati, yang pada waktu itu di jabat oleh Bapak Fadilah Budiono dan menyampaikan keadaan serta kondisi SDN Birem IV. Pertama kali mendengar cerita dari tokoh masyarakat tersebut bapak bupati tidak percaya kalau di Kabupaten Sampang masih ada sekolah negeri tanpa gedung sekolah. Hal ini membuat keinginan Bapak Bupati Fadilah Budiono untuk mengecek langsung lokasi sekolah kami.  Pada waktu bapak bupati ke lokasi SDN Birem IV kebetulan musim penghujan sehingga bapak bupati tahu dan merasakan perjuangan kami untuk mencerdaskan anak bangsa. Bapak bupati merasa sangat prihatin karena beliau ikut kami dengan berjalan kaki sejauh kurang lebih 5 Km tanpa alas kaki. Dalam perjalanan ke tempat tujuan bapak bupati selalu menasihati kami agar selalu bersabar dalam menjalankan tugas mulia ini. Selama diperjalanan bapak bupati  menjumpai para warga yang sedang bercocok tanam dan mengajak mereka berdialog sebentar dan banyak diantara mereka yang tidak tahu bahwa yang mengajak mereka berbicara adalah bapak bupati yang merupakan kepala daerah di Kabupaten Sampang. Warga desa Birem tidak hanya menanam padi dan jagung tetapi sebagian besar dari warga menanam bentol dan hasil tanaman bentol dari desa Birem sangat berkualitas tinggi, mungkin karena tanahnya cocok untuk tanaman bentol sehingga sangat diminati oleh para penikmat bentol di seluruh wilayah di Indonesia.

Ketika sampai di tempat lokasi, bapak bupati beserta rombongan langsung meninjau tanah yang akan dihibahkan oleh tokoh masyarakat untuk dibangun gedung sekolah. Dan bapak bupati langsung menginstruksikan kepada bawahannya agar secepatnya sekolah SDN Birem IV dibangun. Setelah seminggu dari kunjungan bapak bupati, material untuk rencana pembangunan SDN Birem IV sudah mulai berdatangan.

Akhirnya SDN Birem IV bisa memiliki gedung sendiri walaupun hanya tiga lokal, karena disesuaikan denga area yang dihibahkan. Sejak saat itu mulailah ada perubahan pada  siswa kami dari yang tidak berseragam menjadi berseragam walaupun masih tidak memakai sepatu.

Tradisi mengganti kain kafan pada orang yang meninggal awalnya tidak sengaja saya lihat di belakang sekolah. Saya pertama tidak menyangka waktu ada sebagian warga yang menggali kubur di belakang sekolah. Saya bertanya pada warga yang ikut  menggali kubur itu siapa yang meninggal. Dan mereka menjawab bahwa ini bukan menggali kuburan untuk orang meninggal tetapi mereka menggali kuburan yang sudah lama untuk diganti kain kafannya. Ketika digali dan jenasah yang sudah lima sampai sepuluh tahun meninggal, banyak warga yang melihat karena kebiasaan di daerah Birem itu adalah hal yang biasa sehingga tidak perlu ada tirai untuk menutup area kuburan yang digali, karena untuk di daerah lain tidak ada tradisi seperti di desa Birem  Bagi saya hal itu merupakan sesuatu pengalaman yang baru dan sangat berkesan karena dari pengalaman itu saya mengetahui bahwa orang yang meninggal akan mendapatkan balasan atas semua perbuatan selama hidupnya. Saya pernah melihat ada kuburan yang jenasahnya hanya tinggal tulang belulang. Jadi tulang belulang itu yang disatukan kembali dan di kafani. Ada juga jenasah yang tulang belulangnya hangus berwarna hitam dan ketika saya bertanya apa yang dilakukan selama hidupnya ternyata dia adalah seorang pencuri yang selalu bikin resah warga sekitar. Tetapi ada juga jenasah yang kulitnya tetap utuh hanya kain kafannya yang berubah warna menjadi coklat oleh tanah. Dan ternyata perilaku orang tersebut dulunya seorang yang baik dan selalu membantu warga yang membutuhkan. Bagi warga di desa Birem bagaimanapun kondisi jenasah yang diganti kain kafannya itu bukan sesuatu yang menjadi aib bagi keluarga karena itu sudah dianggap hal yang biasa. Bahkan tradisi mengganti kain kafan pada jenasah yang sudah meninggal lima sampai sepuluh tahun sudah dilakukan sejak dulu secara turun temurun. Dalam tradisi mengganti kain kafan posisi kuburan tidak dipindah ke tempat lain. Tetapi tetap di kubur kembali di tempat semula. Bahkan ada yang di ganti dengan batu nisan yang baru. Dan penggantian kain kafan itu langsung dilakukan di dalam kuburan orang yang sudah meninggal tersebut.

Dalam tradisi mengganti kain kafan pada jenasah terlebih dahulu keluarga yang meninggal mengadakan do’a bersama atau melaksanakan haul dengan mengundang beberapa warga sekitar. Saya pernah diundang dan hadir dalam acara haul di desa Birem. Dengan suguhan yang sangat sederhana dengan pembungkus nasi dari daun jati dan lauk seadanya tetapi tidak mengurangi rasa kekeluargaan antar warga di desa Birem.

Hingga pada akhirnya tahun 2012 saya dipindah tugaskan dari SDN Birem IV Kecamatan Tambelangan Kabupaten Sampang ke SDN Banasare I Kecamatan Rubaru Kabupaten Sumenep. Tetapi walaupun saya sudah pindah tugas ke SDN Banasare I, saya kadang  berkunjung ke desa Birem, hal ini karena istri saya berasal dari Kecamatan Tambelangan Kabupaten Sampang. Sehingga kalau waktu liburan semester ketika saya berkunjung ke keluarga di Tambelangan,  saya selalu menyempatkan untuk berkunjung ke desa Birem. Dan tradisi itu masih tetap dilaksanakan sampai sekarang.

 

  

 

 

 

 

 

 

 

BIODATA PENULIS

                                Abd. Hayat adalah nama penulis karangan nonfiksi ini. Penulis lahir dari orang      tua Abd. Rafik dan Siti Maryam (almh.) Penulis

                                dilahirkan  di Desa Kebunan Kecamatan Kota Sumenep Kabupaten

                                Sumenep  Jawa Timur pada tanggal 08 September 1975. Penulis menempuh

                                pendidikan   dimulai dari SDN Kebunan I (lulus tahun 1988), melanjutkan

                                ke SMP Negeri I Sumenep (lulus tahun 1991), SMA Negeri I Sumenep

                                (lulus tahun 1994), dan Universitas IKIP Surabaya (lulus tahun 1998).

                                Tahun 1999 diangkat PNS di SDN Birem IV  Kecamatan Tambelangan 

                                Kabupaten  Sampang  Jawa Timur.

Penulis kemudian  melanjutkan kuliah SI UT Surabaya. Tahun 2012  penulis mutasi ke SDN Banasare I Kecamatan Rubaru  Kabupaten Sumenep sampai sekarang.

            Penulis bersyukur karena dapat menyelesaikan karya tulis nonfiksi dengan judul “Tradisi Mengganti Kain Kafan”. Semoga kedepannya semakin baik lagi dalam menulis karya-karya yang lain.                                                   

 

 

           

 

 

Post a Comment