Sore
itu sepulang dari kegiatan sekolah, aku bersama temanku bersepeda sore ke rumah
teman ku. Disepanjang jalan menuju ke arah barat, mata ku silau akan teriknya
matahari sore. Tepat dipersimpangan jalan, samar-samar aku melihat seorang
pemuda memegang senapan angin. Entah bersama siapa aku kurang begitu jelas.
Setelah tiba di rumah teman, pikiranku masih teringat dengan sosok pemuda yang
baru saja aku jumpai dipersimpangan itu. Tidak betah aku berada disana, dan
segera aku pulang dengan maksud agar bisa bertemu lagi dengan pemuda itu.
Mendekati persimpangan jalan itu,
aku pelankan motorku. Ternyata pemuda itu masih ditempat itu. Perlahan-lahan
aku melirik ternyata dia juga memperhatikanku. Keesokan harinya aku coba jalan
sore menuju rumah temanku lagi. Dengan harapan dapat bertemu dengan orang yang
kemarin sore itu. Dugaanku tepat, dia berada lagi ditempat itu. Kali ini cara
dia memperhatikanku sungguh beda dengan yang kemarin. Sepertinya dia penasaran
dan akan mengenalku lebih jauh.
Beberapa minggu kemudian, aku
menerima surat dari seseorang entah dari siapa. Ternyata setelah aku buka,
dalam surat itu diawali dengan salam dan perkenalan.
“Assalamu’alaiku dik, maaf jika aku
merasa mengganggu kegiatanmu hari ini. Kenalkan nama ku Ari. Bolehkah aku berkenalan
denagnmu?” begitu bunyi awal suratnya.
Setelah aku baca
sampai tuntas, aku berpikir apakah aku akan membalas suratnya apa tidak. Satu
minggu aku berpikir, masih belum ada keberanian untuk membalas suratnya. Akhirnya,
aku coba untuk memberanikan diri dengan membalas suratnya.
Dalam
surat itu aku membalas, “Wa’alum salam, maaf juga jika aku baru sempat membalas
suratmu ini. Kenalkan, namaku Lastri. Kalo boleh tahu, apa maksud dan tujuan
kamu mengirim surat padaku,” lanjutku dalam surat balasan itu.
Beberpa hari
kemudian, surat balasan itu datang lagi. Dan yang mengejutkan, mas Ari mengirimkan
sebuah pas foto hitam putih ukuran 3x4. Aku merasa khawatir dan takut jika foto
itu nanti diketahui oleh orang tuaku. Aku yang saat ini masih kelas 3 Tsanawiyah,
dan baru pertama kalinya mengenal seorang laki-laki. Dan mungkin bukan waktunya
untuk pacaran atau apapun itu namanya. Dalam surat balasan berikutnya, dia
memaksa minta fotoku juga. Tanpa pikir panjang aku juga memberikan fotoku
padanya.
Waktu telah berjalan dua bulan, dan ketika
itu aku menempuh ujian semester akhir untuk menghadapi kelulusanku. Sementara berita
tentang perkenalanku dengan dia telah terdengar dan diketahui oleh kedua orang
tuaku. Di daerah kami, jika ada anak gadis yang dikenal oleh seorang laki-laki.
Untuk menepis dugaan orang yang macam-macam, maka laki-laki iu harus segera
melamarnya. Hal ini dimaksudkan untuk meredam prasangka orang yang tidak baik.
Kedua orang tuaku berharap mas Ari segera melamarku. Tapi tujuan mas Ari kenal
denganku bukan segera untuk melamar, melainkan hanya sebagai teman saja. Ini
dua hal yang bertolak belakang antara keinginan orang tuaku dan mas Ari.
Kabar itu semakin beredar luas.
Teman dan keluargaku yang lain juga selalu bertanya-tanya. Namun, harapan
keluargaku agar mas Ari datang untuk melamarku tak juga terwujud. Hingga
keluargaku merasa malu dengan kabar yang beredar itu, akhirnya aku dijauhkan
dari keluarga dengan dimasukkannya aku ke sebuah pondok. Aku dan mas Ari sempat
bertukar nomer handphone. Sebelum aku berangkat ke pondok, aku selalu menghubungi
mas Ari meski hanya lewat telpon. Tapi kini kami telah terpisahkan dengan
jarak. Dimana kita sama sekali tidak ada kabar sedikitpun.
Hari pertama di pondok, aku menangis
sejadi-jadinya. Meski hanya perkenalan yang singkat dengan mas Ari, sepertinya
aku sudah mulai menyukainya. Di setiap malam-malamku, dan ditengah kesunyianku.
Aku hamparkan sajadahku, aku kerjakan sholat malamku. Dan pada setiap akhir
raka’at sholatku, pada sujud akhirku aku berdoa’a.
“Ya Allah, Engkaulah Tuhan Yang Maha
Pengampun, ampunilah segal dosa dan kesalahanku. Engkaulah Kuasa atas segala
sesuatu. Tunjukkan kepadaku jalan yang benar, jalan yang Engkau ridhoi.” Tiap
malam-malamku selalu aku kerjakan sholat malam seperti malam-malam sebelumnya.
Sudah satu tahun belalu. Sore itu,
terdengar ada yang mengetok pintu kamar pondokku. Setelah aku buka ternyata
salah seorang pondok yang datang sambil memberi tahu, bahwa ada telpon dari
keluargaku. Aku mengira itu telpon dari ibu atau orang rumah yang biasa
menelpon aku. Tanganku gemetar dan hampir tidak percaya ketika ada suara yang
sepertinya aku kenal.
“Assalamu’alaikum dik, gimana
kabarmu dipondok? Apakah kamu masih mengenal suaraku?” itu suara dari telepon
yang aku dengar. Kaget bercampur haru, aku menjawab salamnya.
“Wa’alaikum salam mas!. Mas Ari tahu
dari mana nomer telpon pondokku?” tanyaku sambil berlinang air mataku.
“Semenjak kepegianmu, aku kehilangan
kontak denganmu. Kepergianmu memang sengaja dirahasiakan oleh kedua orang
tuamu. Hingga aku mengetahui tentang keberadaanmu dari teman yang dulu sering
bersamamu, bahwa kamu sedang ada di pondok.”
Kami bicara
singkat, karena jam nelpon di pondok dibatasi. Akhirnya kita mengakhiri
pembicaraan itu, meski sebentar cukup untuk mengobati rasa kangenku.
Hingga pada malam itu, ketika aku
kembali menghamparkan sajadahku, dan disujud terakhirku aku berdo’a.
“Ya Allah, segala puji bagi Engkau.
Yang telah mengabulkan dan menjawab do’a-do’aku. Engkau telah mendatangkan
seseorang yang sudah lama aku rindukan, meski hanya sesaat sudah cukup untuk
mengobat rasa rinduku ini.” Itulah do’aku setiap aku sujud di akhir sholat
dalam sujudku.
Sajadahku,
sebagai hamparan untuk menampung air mataku. Ketika aku berdo’a dan mencurahkan
segala isi perasaanku kepada Allah SWT. Belum kering rasanya air mata ini,
setiap tetesan demi tetesan merupakan wujud dari butiran-butiran masalah yang
terbenam dalam hatiku.
Sejak saat itu, mas Ari tidak pernah
menelponku lagi. Mungkin karena peraturan pondok yang begitu ketat, dimana
laki-laki tidak boleh menelpon apalagi menghubungi santri wanita dalam pondok.
Namun sholat malamku tetap aku kerjakan
seperti biasanya. Tak lupa kadang dalam sholat aku berdo’a.
“Ya Allah wahai sang pembolak balik hati,
tetapkanlah hatiku pada agama-Mu”. Dengan harapan, meski masalah yang aku
hadapi ini belum ada kejelasan kedepannya, aku tetap berpegang teguh pada agama
Allah.
Tiga tahun berlalu, dan aku pun
lulus dari tempat mondokku. Kini aku kembali lagi ke rumah seperti tiga tahun
lalu aku tinggalkan. Minggu pertama, bahkan bulan pertama aku dirumah. Nampak
biasa-biasa saja. Handphone yang dulu aku punya, kini kembali aku pegang. Namun
nomer mas Ari tidak bisa aku hubungi dan sepertinya dia telah ganti nomer.
Ditengah
kesendirianku, aku teringat kepada teman lamaku yang dulu biasa aku datangi ke
rumahnya. Aku berharap bisa bertemu dengan mas Ari lagi. Beberapa kali aku
kesana tapi sepertinya mas Ari tidak ada.
Lagi-lagi handphone ku berdering.
Aku tahu betul siapa yang menelpon. Ini adalah nomer pamanku saudara sepupu
dari ibuku. Gak pakek lama lagsung aku angkat telponku. Lagi-lagi suara yang
tidak asing terdengar di handphone ku.
“Assalamu’alaikum dik!”, sapanya.
“Wa’alikum salam,
mas...mas..Ari..!”, jawabku dengan suara gemetar.
“Iya, dik. Ini ku. Bagaimana
kabarmu?, beberapa hari yang lalu aku melihat kamu lewat.”
“Aku kehilangan nomer telponmu, dan
ini aku dapat dari pamanmu”. Lanjutnya.
“Iya mas, aku baik-baik saja.
Sekarang aku dirumah, karena sudah lulus dari pondokku.” jawabku.
Agak lama kita bicara, dan hal seperti selalu terulang
kembali seperti tiga tahun yang lalu. Satu tahun berlalu, hubungan kami semakin
erat. Hingga suatu hari, kabar hubungan dengan mas Ari diketahui kembali oleh
kedua orang tuaku. Awalnya aku hanya ditegur oleh ibuku. Tapi karena aku tidak
mendengrakn kata-katanya. Handphone ku kembali diambilnya, aku dikurung dalam
kamar dan tidak boleh pergi kemana-mana. Termasuk menghubungi lagi mas Ari.
Prahara kembali terjadi, dimana aku tidak boleh
keluar kamar. Makan dikirim ke dalam kamar, tanpa handphone dan fasilitas
lainya. Hari-hari seperti awal aku berada pondok terjadi lagi. Kembali setiap
malam aku hamparkan sajadahku, dan kucurahkan pada Allah apa yang sedang
berkecamuk dalam hatiku. Kembali air mata berurai membasahi sajadahku,
butiran-butiran masalah mengalir bersama tetesan air mataku. Hingga pada malam
itu aku bermimpi. Di dalam mimpi itu terlihat kami sholat bertiga. Ada mas Ari,
aku dan nenekku yang sudah meninggal. Kita sholat bertiga, dimana mas Ari
sebagai imanya, sedang aku dan nenek sebagai makmumnya. Sehabis sholat, aku
mencium tangan mas Ari. Seolah kami sudah menikah dan dia telah menjadi imam
dalam rumah tanggaku.
Terasa mimpi itu terasa nyata, seolah kami sudah hidup
bersama dalam membina rumah tangga. Hingga sang waktu pergi dan berlalu, dan
aku pun terjaga dari tidurku. Aku terbangun dan melihat sekelilingku. Perlahan-lahan
aku mulai sadar.
“Astaghfirullah..., ternyata ini hanya mimpi...., hanya
mimpi.” Kataku, dan kembali aku menangis sejadi-jadinya. Mungkin Allah telah mengabulkan
do’aku, walau itu yang kurasakan hanya sebatas mimpi.
Hampir satu minggu aku mengurung diri
di kamar. Dan keesokan harinya setelah mengalami mimpi itu. Aku mencoba keluar
kamar dan mandatangi ibu. Aku tanyakan tentang handphone ku dimana, akhirnya
ibu ku memberikannya. Tanpa basa basi, langsung handphone aku banting lalu aku
injak-injak hingga hancur menjadi beberapa bagian.
“Lihat Bu, lihat!. Jika ibu
menghalagi aku dan mengekang kebebasanku. Biar aku tidak pegang handphone
sekalian”, jawabku dengan nada marah. Lalu aku kembali ke rumah dan masuk
kamar. Perasaanku sunggguh kecewa dan hancur, sebagaimana hancurnya handphone
yang baru saja aku banting.
Sejak
saat itu, aku tidak bisa menghubungi mas Ari lagi. Harapanku untuk menjadi
miliknya kandas ditengah jalan. Kembali hamparan sajadahku, selalu menjadi wadah atas
tetesan air mata dan curahan hatiku setiap ingat akan kenangan masa-masa itu.
Juhari, M.MPd
SDN Tambaksari III
***
Post a Comment