Oleh : Zaidatun Maimunah
Dani baru saja pulang dari latihan sepak
bola, bajunya penuh dengan tanah dan cipratan lumpur. Ibu heran melihat anak
lelaki pertamanya itu pulang selalu dengan keadaan seperti itu. Arya, anak
tetangga yang juga merupakan teman bermain Dani saja pulang dalam keadaan baju
bersih. Ibu jadi curiga anaknya itu
bertengkar dengan bola atau lumpur. Mengenaskan sekali.
"Tunggu sebentar, tunjukkan
sikumu?" Ibu buru-buru mencegah langkah anaknya sebelum sosoknya menghilang
ke dalam rumah. Dani diam saja. Terdengar suara mendengus darinya ketika ibu
mengambil tangannya. "Luka lagi. Sudah ibu peringati berkali-kali kalau
bermain hati-hati. Lihat si Arya, dia tidak pulang sepertimu."
"Itu karena Arya pemain yang lemah.
Dia diam saja ketika bola datang padanya."
Dani menarik kembali tangannya. Lalu berlari sebelum ibunya berceramah
seperti kereta api. "Dani ingin mandi."
Dani kelas empat sekolah dasar, memiliki
dua adik. Yoshi dan Rubi. Bagi Dani menjadi seorang kakak adalah pekerjaan
terberat dibandingkan dia harus mengerjakan tugas sekolah sepanjang hari libur.
Adik-adiknya selalu mendapatkan sesuatu yang mereka mau. Sementara dirinya
harus mengalah dan menonton semua itu dengan muka tertekuk.
Siapa yang tidak kesal jika dirinya
terus dibandingkan dengan anak tetangga. Arya-- si anak pandai, sopan, santun
dan rajin menabung. Dan Arka-- anak yang tidak punya kelebihan namun penurut.
Dani tidak termasuk dalam kategori kedua anak itu. Ceroboh, tidak bisa diatur,
tidak pandai. Dani tidak memiliki kelebihan selain bermain bola. Dia pikir
hanya dengan bermain bola saja bisa membuat penghuni perumahan ini bangga dan
iri padanya? Tentu tidak, bermain bola tidak ada dalam pelajaran sekolah.
Malam hari setelah makan malam. Dani
berlari kencang dari kamarnya menuju ruang televisi. Dia tidak ingin didahului
oleh siapapun. Acara kartun kesukaannya akan tayang pada jam 19.00. Dani harus
tepat waktu. Namun, siapa sangka. Yoshi
memegang remote duluan. "Mana berikan padaku!"
"Siapa cepat dia dapat. Kakak tidak
boleh merebut yang sudah menjadi milik orang lain!" Yoshi kali ini tidak
mau kalah dari kakaknya. Dani mendengus,
dia tidak suka ada seseorang yang lebih muda darinya berteriak dan mengajarinya
sesuatu, bukan dari pelajaran sekolah. "Sudah jadi milik siapa? Remote itu
bukan milikmu. Cepat berikan padaku!"
Yoshi menyembunyikan remote itu di
belakang tubuhnya. "Milikku! Aku mendapatkan lebih dulu. Ibu,
tolong!" Yoshi kembali berteriak. Itu membuat Dani geram. Sesuai yang
telah Dani prediksi. Adiknya yang manja itu melapor. "Kapan kau akan
menjadi laki-laki kalau suka melapor seperti anak perempuan."
"Aku masih kecil. Kakak yang
seharusnya mengalah. Ibu!" Adiknya itu sudah semakin ketakutan ketika Dani
melangkah mendekat. Kapan saja Dani bisa dengan mudah merebut remote dari
genggamannya.
"Tidak ada alasan. Bayi terlahir
menjadi laki-laki dan perempuan. Walaupun masih kecil, kau sudah menjadi
laki-laki. Berikan sini!"
Ketika ibu datang, Yoshi sudah menangis
dan menghambur kebelakang punggung ibunya. Dani menatap adiknya dengan tatapan
tajam. 'Dasar anak manja' begitu arti tatapan matanya. "Dani, apa yang kau lakukan pada
adikmu?" Tanya ibu. Namun, Dani diam saja. Akhirnya, Yoshi yang memilih
untuk menjawabnya. "Kakak ingin merebut remoteku. Aku mendapatkan lebih
dulu, sebelum kakak datang. Aku benar kan, bu?"
"Seharusnya ibu tidak perlu
membelanya. Dia akan terus begitu dan mencari pembelaan." Dani melipat
tangan, mukanya terlihat kesal sekali. Malam ini yang seharusnya menyenangkan.
Sebab, kartun Kesukaannya akan tayang hanya khusus hari ini. Dan sementara dia
harus mengalah kepada tayangan kartun yang sering ditanyakan di televisi. Tidak
kepada Yoshi, dan juga Rubi, Dani harus mengalah.
Selepas pulang dari sekolah, Dani
melihat ibu membawa banyak sekali tas belanja. Yoshi dan Rubi, mendapat
masing-masing satu tas. "Kakak, ibu
membelikan kita baju baru." Rubi, mengeluarkan isi dari tas berwarna merah
jambu tersebut.
"Ini untuk Dani." Ibu
menjulurkan tas besar hijau padanya. Dani sumringah merima tas itu. Ukuran
tasnya lebih besar daripada milik Yoshi dan Rubi. Dani berpikir baju yang dia
punya lebih banyak. Dan benar saja, terdapat tiga baju baru yang dia bisa
keluarkan dari dalam tas. Namun, Dani mendapati sesuatu yang janggal.
"Yoshi, Rubi, tunjukkan baju
kalian." Dani mengambil baju mereka berdua dan menciumnya. "Ibu, baju
mereka tercium seperti baju baru lalu, mengapa milikku baunya seperti baju
deterjen? Dan ini--" Dani memperlihatkan baju Yoshi dan Rubi yang masih di
gelantungi harga. "Mengapa punyaku tidak ada!"
"Ah, kenapa kau ini sangat pintar.
Baiklah, ibu mendapatkannya dari anak bibi Maryam."
"Apa itu artinya ini baju
bekas?" Dani melihat baju dalam genggamannya.
"Apa maksudmu bekas? Anak bibi
Maryam merawat bajunya dengan baik. Kita tidak punya uang. Coba lihat baju ini.
Terlihat seperti baju baru kan?" Ibu mencoba meyakinkan Dani bahwa baju
bekas tidaklah buruk. "Tidak. Ibu membelikan baju baru Yoshi dan Rubi
setiap saat." Dani berteriak.
"Ah, ibu berharap Yoshi dan Rubi
juga bisa memakai baju bekasmu agar kita bisa berhemat. Tapi kau selalu kalau
bermain itu kasar, bajumu jadi rusak."
"Karena dari awal memang baju
bekas." Dani berlari meninggalkan ibu dan kedua adiknya. Sementara ibu
masih memandangi baju yang baru saja lepas dari tangan Dani, dan rupanya ada
bagian yang sobek.
Dani menemui Arya di lapangan, ternyata
sehabis pulang sekolah dia tidak langsung pulang ke rumah.
"Hey, kenapa hidup ini sangat
berat. Kalau di kota ini terjadi angin topan atau pembagian donat gratis, ibuku
akan tetap mengabaikanku." Dani memeluk lututnya. Tatapannya menatap
lapangan sepak bola yang dipenuhi dengan rumput.
"Jangan katakan itu. Dan
semangatlah, kawan. Aku yakin itu karena ibumu sangat bergantung padamu. Karena
kau anak pertama." Arya merangkul punggung sahabatnya. Seakan tahu apa yang dirasakan Dani hanya
dengan melihat raut wajah anak itu.
"Bergantung padaku karena aku yang
tertua? Apa kau mau mendengar ceritaku? Bahkan kalau itu kesalahan Yoshi atau
Rubi. Ibu selalu menyalahkan aku. Itu artinya ibu tidak bergantung
padaku." Dani berusaha sebisa mungkin untuk tidak menangis, dia harus
menjunjung apa yang pernah dia katakan kepada Yoshi bahwa menjadi seorang
laki-laki adalah dengan tidak menangis.
"Tapi pasti ada kelebihannya
menjadi anak tertua." Ucap Arya menyakinkan. "Contohnya?" Tanya
Dani.
"Biasanya kakak tertua akan selalu
dapat baju terbaru, dan adik-adiknya akan memakai baju bekas kakaknya."
Dani mendengus, lalu berkata." Berhentilah membual. Kau menyakiti
hatiku."
Siang itu, Dani melewatkan makan siang.
Dia masih enggan pulang ke rumah dan bertemu dengan ibu. Alhasil, Dani
bersembunyi dengan memanjat pohon mangga dan makan dengan buah itu hingga
kenyang. Sebab, ibu pasti akan datang ke lapangan tadi ketika tahu dirinya
tidak kunjung pulang hingga waktu makan siang berlalu. Menjelang waktu magrib, Dani tiba di rumah.
Dia mengendap masuk lewat pintu belakang supaya tidak ada yang menyadari jika
dia sudah kembali. Setelah berhasil masuk, Dani berlari berjinjit menuju kamar.
Dan menutup pintu.
Tubuhnya letih dan perutnya tetap merasa
lapar. Rupanya makan buah saja tidak cukup untuk mengisi energinya. Anehnya
hidung Dani bisa mencium ada wangi ayam goreng di dalam kamar. Baunya dekat
sekali. Dan benar saja, ada satu nampan berisi sepiring nasi beserta lauk pauk
dan secangkir susu coklat kesukaannya. "Ini pasti ibu. Uhh, aku tidak akan
menyentuhnya. Aku tidak akan berdamai."
Jadi, Dani berusaha untuk menyibukkan diri dengan hal lain, supaya aroma
ayam goreng tidak begitu mengganggunya. Dani tertarik dengan tumpukan buku
besar dan tebal di bawah lemari bajunya. Selama ini, Dani tidak pernah menyentuhnya,
sebab dia tidak peduli apa itu.
"Apa ini album keluargaku?"
Ucapnya begitu lembar pertama dibukanya.
"Haha, rupanya aku imut juga ketika
bayi. Ayah rambutnya gondrong. Hahaha lucu sekali." Dani terus membuka
lembar demi lembar. Satu foto sama dengan satu kenangan. Dia tidak pernah tahu,
ayah dan ibunya menyimpan banyak sekali kenangan tentang dirinya. Dari bayi
hingga Dani tumbuh menjadi anak lebih dewasa. Dan memiliki dua adik-adik yang
lucu dan manja.
"Pakaian ibu tidak pernah
berubah." Dani mengusap foto ibunya. Itu merupakan satu hal yang bisa dia
tangkap dari pengamatannya. Dani baru menyadari jika ibunya sering menambal
bajunya yang sudah sobek daripada membeli baju baru.
"Mengapa ibu tidak membeli baju
baru untuk diri ibu sendiri. Padahal ibu yang mempunyai kuasa atas keuangan
keluarga." Dani-- seorang laki-laki yang di kenal tangguh itu akhirnya
meluruhkan air mata. "Dani?" Terdengar suara ibu memanggil dirinya
bersamaan dengan pintu kamar yang terbuka.
"Ibu, maafkan Dani ibu!" Dani
memeluk erat tubuh ibunya. Dalam situasi seperti ini anak itu masih malu
memperlihatkan tangisannya di depan ibunya. Ibu tersenyum dan mengusap tubuh
anak lelaki pertamanya itu.
Kasih ibu kepada beta. Tak terhingga
sepanjang masa. Hanya memberi tak harap kembali. Bagai sang surya menyinari
dunia.
Post a Comment