Pelangi
yang memayungi senja
Kusangka
gapura indah ruang mimpi
Lintasan
waktu menganyam kisah
Namun
tafsir baru terurai
Ketika
pagi terasa beku
Kemarin
tak sama dengan hari ini
Aku
tak bisa merangkai riang bersamamu
Tak ada yang bisa memungkiri
indahnya senja, ketika penghujung siang menyisihkan sisa gerimis menjelma
pelangi diawal senja. Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan,
Sembilan, sepuluh, sebelas, duabelas, … ratusan benda kecil sepertinya hidup atau
terkesan hidup bagai barisan koloni. Ada yang merayap di akar bakau, ada yang menari-nari
di atas lumpur dan pasir, ada pula yang asyik terdiam menikmati keindahan atau
bahkan hanya diam termenung. Sesuatu yang membuat penasaran apalagi dipayungi
oleh bentang indah pelangi, sehingga ingin melihat lebih dekat indahnya. Yaa
Tuhan… setelah didekati, ternyata sekumpulan kepiting pertapa. Suatu keindahan
yang makin terlihat indah, ketika dilengkapi dengan keindahan hutan bakau yang
hijau menghampar di sekelilingnya. Kepiting pertapa mungkin pernah menjadi
teman bermain sebagian besar anak-anak, cangkang atau rumahnya berwarna-warni
dan tubuhnya yang suka keluar masuk cangkang membuat anak-anak gemas. Kepiting
pertapa disebut juga kelomang, kelestariannya sangat berpengaruh terhadap
eksistensi ekosistem hutan bakau dan sekitarnya.
Di antara kumpulan kepiting pertapa,
ada satu yang bernama Umang. Hmm… ternyata mereka memiliki nama seperti
manusia, memiliki saudara, memiliki teman dan kerabat. Umang adalah kepiting
pertapa yang paling dominan dan unik diantara teman-temannya. Ia paling aktif,
usil, jahil, nakal tapi terkesan seperti pemimpin dan pelindung teman-temannya.
Terkadang saat teman-temannya pasif, males atau mager istilah sekarang, si
Umanglah yang memulai memotivasi mereka untuk bergerak. Suatu saat pernah Umang
mendekati Uming yang mendekat berjalan
kearahnya, maksud hati ingin menunjukkan rumah barunya yang menurutnya sangat
indah. Ternyata apa yang ada dipikiran Uming benar, Umang terkesan, terpana dan
tertarik dengan tampilan rumah baru si Uming.
“Hey… Uming cakep banget rumah
barumu, dapat darimana kau?” tanya Umang.
Wuiih… Uming tanggap dengan sikap si
Umang sebelum ia mendekat lagi padanya, Uming langsung menanggapi sikap Umang
dan berkata,
“Tenang Umang masih banyak rumah
baru yang lebih bagus dari rumahku ini, kalau kamu mau ayo kita kesana!”
Umang menjawab, “Yakin kau Uming
masih banyak? Bajuku sudah kekecilan, lusuh pula.”
Uming menanggapi dengan anggukan. Lantas
mereka berdua bergandengan tangan menuju tempat Uming menemukan rumah baru.
Sambil bernyanyi-nyanyi riang dengan menghentak-hentakkan kaki penuh semangat
menjadikan waktu terasa singkat, hingga tak terasa tibalah mereka ditempat yang
diceritakan Uming. Terlihat jelas belalak mata kegirangan Umang melihat
kenyataan keindahan rumah-rumah baru dan bagus seperti dikatakan oleh Uming.
“Oh my God… that’s right what you
say. I’m very like it. Thanks a lot bestie.” Umang said.
Nampak sekali kegirangan dan binar
bahagia si Umang seperti sedang bermimpi dengan apa yang dilihatnya.
Setelah menemukan sebuah rumah yang
sangat bagus dan ia suka, langsung saja Umang mengganti rumahnya. Dengan sangat
percaya diri ia berjalan menari-nari menunjukkan rumah barunya didepan Uming. Lalu
Umang berkata,
“Eh… kita ajak Amang, Imong dan yang
lain kesini yuk!”
Uming menjawab, “Boleh… let’s go!”
Tang… ting… tang …ting terdengar
langkah kaki mereka bagai irama pengiring kekompakan bersama mencari teman-temannya
yang butuh rumah baru.
Sampailah mereka di hutan bakau
tempat teman-temannya berkumpul, hamparan hijau bakau yang memanjang ditepian
pantai terbentang indah bagai pigura dibentang lukisan. Nampak kumpulan
kepiting pertapa sedang bermain, bercengkerama menggambarkan sebuah keindahan
harmonisasi persahabatan yang sulit diungkapkan. Suka cita yang tersirat
diantara akar tunjang hutan bakau seakan menjadi keindahan sebuah cerita bagi
kepiting pertapa.yang tak pernah terpikirkan bahkan terabaikan oleh kita. Dari
kejauhan Umang dengan semangat berteriak memanggil teman-temannya,
“Woii… lihat rumah baruku keren
kan?” pungkas Umang.
Teman-temannya serentak terkesima
dengan penampilan baru Umang.
Mereka bertanya, “Di mana kau
dapatkan rumah baru itu Umang? Kami juga mauuu…!” timpal mereka.
Tanpa pikir panjang Umang dan Uming
menjawab dengan anggukan mengajak teman-temannya ketempat mereka menemukan cangkang
atau rumah barunya. Sampailah mereka ditempat yang diceritakan oleh Umang,
mereka terlihat sangat senang dan saling berebut untuk mengganti rumah mereka
yang kekecilan. Tak berselang lama terpenuhilah keinginan mereka, mengganti
rumah baru. Ada keinginan untuk memamerkan rumah baru mereka pada temannya yang
lain, berlarianlah mereka kembali ketempat semula mereka berkumpul. Seperti biasa
Umanglah berada paling depan, mereka antusias ingin cepat sampai.
Di sisi pantai yang tadi, terlihat
kepiting pertapa sedang bermain, mereka adalah sahabat-sahabat Umang. Saking
asyiknya bermain mereka tidak sadar, mereka lalai ada seorang laki-laki
memunguti mereka satu-persatu dan memasukkannya kedalam keranjang yang cukup
besar. Tak henti-henti laki-laki itu memunguti kepiting pertapa hingga
keranjangnya penuh. Lalu laki-laki itu meninggalkan pantai dengan senyum penuh
kepuasan.
Dia bergumam, “Wahh… bakal untung
besar nih!”
Kejadian ini terlihat oleh Umang yang
berada dibarisan paling depan, sontak dia berteriak menyuruh kabur
teman-temannya,
“Kabuuurr…ada manusia sedang
memunguti teman-teman kita!”
Seketika kawanan kepiting pertapa
balik kanan lari sekencang-kencangnya mencari tempat persembunyian. Teriakan
Umang dan teman-temannya tak akan pernah dimengerti oleh pemburu itu. Dengan
santainya lelaki itu pergi meninggalkan pantai dengan perasaan puas dan senang.
Sesampainya dirumah laki-laki tersebut mulai membersihkan kepiting pertapa yang
ia dapatkan. Setelah bersih ia mulai menyiapkan berbagai warna cat yang akan
digunakan untuk mewarnai cangkang agar terlihat lebih menarik. Upaya yang
dilakukan laki-laki itu adalah berkreasi melukis cangkang sedemikian rupa sehingga dapat ia jual dan menghasilkan uang. Keesokan
harinya lelaki itu berangkat menjual kepiting pertapa hasil buruannya menuju
sekolah yang biasa dituju untuk menjual karyanya. Sesampainya disekolah penjual
itu dikerumuni siswa untuk melihat kepiting pertapa berwarana-warni yang
dibawanya. Tidak berselang lama kepiting pertapa tersebut habis terjual.
Pulanglah si penjual itu dengan senyuman
karena membawa keuntungan yang lumayan dari hasil menjual kepiting pertapa.
Di balik senyum si penjual, ada yang
hampir terlupakan tentang Umang dan teman-temannya. Ternyata setelah Umang dan
teman-temannya sadar bahwa banyak sahabatnya yang hilang karena diburu oleh
lelaki penjual itu, mereka teramat kehilangan. Hampir setiap waktu mereka
teringat dan mengenang teman-temannya disudut rimbunnya hutan bakau. Kesedihan
yang hampir tidak ada bedanya dengan kesedihan manusia saat kehilangan
sahabatnya. Ada tangisan-tangisan kepiting pertapa yang tak pernah kita pahami
ritmenya. Mungkin hanya mereka dan rimbunnya hutan bakau yang teramat merasakan
kehilangan. Akan lebih baik seandainya tidak ada manusia yang mengeksploitasi mereka
sebagai barang yang diperjual belikan, sehingga anak-anak tidak terpancing untuk
membeli binatang. Sedangkan binatang terebut tidak dapat hidup selain
dihabitatnya, hal ini akan menyebabkan rusaknya ekosistem pantai. Mereka adalah
makhluk hidup yang juga punya rasa, punya tangisan meskipun tidak sama dengan
tangisan kita.
BIO
NARASI
Menulis adalah kegemaran yang sangat
melekat di diri Peni Yuniarti. Kelahiran Probolinggo, saat ini berdomisili di Sumenep, sebagai guru
di SDN Manding Laok I. Meski dalam menulis seeorang memliki dan memilih
spesifikasinya sendiri. Menulis cerpen sangat merangsang imajinasi dan
kreatifitas, mengasah kemampuan berpikir kreatif, independen, luas dan kritis,
meningkatkan pengembangan bahasa atau komunikasi dan lain-lain. Ia sangat
menyukai menulis, terutama menulis puisi karena hanya lewat puisi bisa
mencurahkan semua isi hati, ide atau gagasan serta pengalaman tanpa melibatkan
orang lain. Dengan menulis puisi akan tahu apa yang orang-orang baca bisa
berbeda dengan apa yang dirasakan, seperti kehalusan dan kelembutan rasa yang
teramat menyenangkan. Apapun alasan dan tujuan menulis puisi adalah ungkapan
kejujuran bagaikan mata air yang mengalir dengan jernih. “Poetry like a waterhole
flowing from the depths of soul”.
Post a Comment