Fahim dan Farhan adalah dua anak kembar yang sangat mirip.
Wajah dan posturnya bak pinang dibelah dua. Namun, sifat keduanya bagaikan
langit dan bumi. Farhan dikenal sebagai anak yang pendiam, sayang dan patuh terhadap
ibunya. Hanya saja, kekurangan Farhan tidak memiliki bakat apapun karena
dasarnya sudah pendiam. Berbeda dengan Fahim, yang jahil pada siapapun, keras
kepala, dan sering membantah perintah ibunya. Bahkan di sekolahnya, ia dikenal
sebagai anak yang nakal karena sering bolos sekolah. Tetapi di sisi lain, ia
memiliki bakat menulis dan membaca puisi karena suaranya yang lantang serta
pemberani. Tak ada satu pun, di dunia ini yang ia takuti. Termasuk kepada
ibunya, ia juga berani.
Kini, mereka hanya hidup bertiga bersama sang ibu, karena sang
ayah telah pergi meninggalkan mereka beberapa tahun yang lalu. Saat ini, hanya
ibunya yang bekerja untuk mencari nafkah sebagai penyambung hidupnya. Dan
saudaranya bernama Farhan yang juga ikut membantu pekerjaan ibunya sebagai
penjual nasi. Satu-satunya peninggalan sang ayah hanyalah sebuah warung yang
masih berdiri kokoh di dekat Pasar Barisan, Manding. Warung sang ibu tak pernah
sepi dari pembeli, karena menyediakan makanan khas orang Madura yang dikenal
dengan “Nase’ Jagung”. Kini, sang ibu
menjadi tulang punggung keluarganya, sehingga sepulang sekolah, keduanya
seringkali harus terlibat langsung menjaga warung dan membantu ibunya melayani
pembeli.
Tiba-tiba terdengar
suara orang memanggil dari belakang.
“Fahim, tolong
bungkuskan nasi jagung satu!” Perintah Farhan yang sedang mencuci piring di
samping warung.
“Apa? Enak saja
nyuru-nyuru, bungkus saja sendiri!” Jawab Fahim sambil melotot dengan wajah
sinisnya.
“Ya Allah, ibu kan lagi
istirahat, kasian ibu, ibu sepertinya kurang enak badan! Ya sudah, tidak
apa-apa!” Jawab Farhan dengan raut sedih di wajahnya. Ia hanya bisa menarik
nafas sambil menggelengkan kepala. Dan tak tahu, apa yang harus ia kerjakan,
sedangkan pembeli sudah mulai berdatangan.
Sementara, Fahim yang
duduk di sebelah pembeli, hanya diam tanpa memperhatikan apapun dan sibuk
dengan lato-lato yang dipegangnya. Bahkan, ia tidak menanggapi kata-kata yang
disampaikaan saudara kandungnya si Farhan. Semenit kemudian, ia pergi begitu
saja tanpa pamit dan mengalihkan pandangan dari si Farhan.
Farhan begitu sabar
menghadapi sikap dan tingkah laku saudara kembarnya. Ia hanya berniat dan ingin
membantu sang ibu agar keinginan sang ibu segera terkabul “Pergi umroh ke tanah
suci Makkah”. Sambil meneteskan air mata, Farhan melanjutkan pekerjaannya
mencuci piring dan berkemas-kemas menutup warungnya karena matahari sudah mulai
menghilang di bawah garis cakrawala.
Keesokan harinya, warung kembali buka. Namun, tepat pada
pukul 13.00 WIB, suasana warung nampak ramai penuh dengan hilir-mudik pembeli.
Baru kali ini, warung tak seramai seperti biasanya. Sementara, Farhan dan Fahim
belum pulang dari sekolah. Akhirnya, sang ibu mengerjakan semua pekerjaannya
sendiri tanpa batuan dari putra kembarnya itu.
Tiba-tiba, tangan ibu
serasa dingin dan gemetar memegang nampan hijau itu.
“Keeemmmpranggg......!”
terdengar suara bunyi piring dan gelas kaca yang jatuh ke lantai.
Mendengar bunyi itu,
pembeli kaget dan panik. Dalam waktu yang bersamaan, untunglah Fahim dan Farhan
datang ke warung. Mereka baru saja pulang sekolah. Masih dengan seragam putih
abu-abu lengkap dengan sepatu dan tas gendongnya. Melihat kejadian itu, Farhan
yang berdiri disampingnya langsung merangkul sang ibu yang sedang jatuh ke lantai.
Ia tidak tega melihat itu semua. Gelas dan piring yang berisi sepotong tahu dan
tempe goreng, ikan asin, berserakan di lantai. Pecahan kaca berserakan juga di
lantai. Sementara, baju dan wajah ibu terpenuhi dengan kuah daun kelor
bercampur es teh. Farhan kembali memeluk erat sang ibu yang terlihat lemas dan
wajah yang pucat pasi. Berbeda dengan Fahim, dengan tegasnya ia langsung
membopong ibunya dan dilarikan ke RSUD Dr. H. Moh. Anwar, Sumenep.
Meskipun pada awalnya, Fahim dikenal sebagai anak yang
jail, sering menyakiti hati ibunya, tetapi kali ini, kepedulian, kasih sayang
terhadap ibunya sungguh luar biasa. Tak terasa waktu berjalan cepat
menghampirinya, Fahim sudah berada di RSUD. Pada saat itu, perasaan Fahim
sangat terpukul dan sedih karena sang ibu yang menjadi tulang punggung, kini
harus berbaring di rumah sakit. Tiba-tiba, ia begitu lemas duduk di ruang
tunggu UGD. Ia hanya pasrah, berdo’a pada Tuhan dan berharap kesembuhan dari
penyakit yang diderita ibunya. Tak kuasa menahan air mata, padahal sudah ia
tepis jauh-jauh. Namun, dengan sendirinya air mata itu jatuh. Jatuh karena
penyesalan atas perbuatannya selama ini terhadap ibunya. Sungguh tak terbendung
lagi air matanya sambil mengangkat kedua tangannya dan menengadah ke atas.
“Ya Allah, sembuhkanlah
ibu, angkatlah penyakit yang dideritanya, berilah kesembuhan padanya. Sebab,
hamba tidak mempunyai apa-apa, hanya padaMu hamba memohon pertolongan. Amiin”
Kurang lebih 30 menit berlalu, tiba-tiba Farhan datang dari
sebelah barat, persis dekat dengan ruang ruangan dokter.
“Bagaimana keadaan
ibu?” tanya Farhan dengan nafas ngos-ngosan. Keringat menyerupai wajahnya yang
menandakan kepanikan dan kekhawatiran terhadap ibunya.
“Entahlah, aku juga
belum tahu, belum ada kabar dari dokter. Terpenting kita berdoa saja untuk
kesembuhan ibu!” jawab Fahim sambil menundukkan kepala.
Seketika Fahim
menghampiri dokter yang memeriksa ibunya.
“Bagaimana keadaan ibu,
Dok?” tanya Fahim sambil memegang kedua tangan dokter.
“Alhamdulillah, ibu
sudah siuman. Hanya saja kondisinya masih lemas, butuh istirahat. Silahkan
kalau mau melihat kondisinya!” pinta Dokter sambil menunjuk ke ruang UGD.
Keduanya langsung menghampiri sang ibu dan mencium serta memegang erat kedua
tangannya. Menjelang beberapa menit, tanpa rasa takut Fahim kembali bergegas
menemui dokter. Sepertinya ada hal yang ditutupi oleh dokter. Mungkin hanya
perasaan Fahim saja.
“Dok, sebenarnya ibu
sakit apa? Dokter harus jujur, jangan ada yang ditutup-tutupi!” tanya Fahim
dengan tegas.
Dengan wajah sedih,
terpaksa dokter menjawab pertanyaan Fahim, “Sebenarnya, ibu menderita penyakit
tumor dan harus dioperasi secepatnya.” Mendengar ucapan dokter, Fahim terpukul
hatinya untuk yang kedua kalinya setelah ayahnya meninggal. Segeralah Fahim
menyampaikan kabar itu pada saudara kembarnya. Ia menangis tersedu-sedan.
Memikirkan bagaimana cara mendapatkan biaya operasi untuk kesembuhan ibunya.
Sedangkan pendapatan dari warungnya tak seberapa, hanya cukup untuk menyambung
hidup sehari-hari.
Seketika, perasaan sedih yang ia rasakan terhenti begitu
saja, karena mendapat kabar bahwa ia menjadi pemenang juara 1 untuk lomba
menulis puisi kategori remaja dalam rangka menyambut Hari Jadi Kabupaten
Sumenep. Keesokan harinya, ia menuju kantor Pemda yang letaknya berhadapan
dengan rumah sakit tempat dimana ibunya dirawat. Dalam hati ia bertanya,
“Apakah bisa nantinya, hadiah yang diterima dapat menyenangkan hati ibu?
Terlebih bisa menyembuhkan ibu? Ya, semoga saja.”
Dengan langkah
tergesa-gesa, ia berlari dengan kencangnya membawa hadiah itu untuk ibunya.
Sebelumnya, ia berhenti dulu di toko, memandang kesana-kemari mencari bungkus
kado yang paling indah untuk ibunya. Hadiah itu dibungkus menjadi tiga kado. Fahim
nampak sedih membungkus kado itu, sesekali ia sambil meneteskan air matanya.
Kado pertama, berisi surat permintaan maaf pada ibunya yang ditulis dengan rapi
dan penuh pengharapan. Kado kedua, ia persembahkan piala dan penghargaan atas
prestasinya. Dan Kado ketiga merupakan kado special karena berisi selembar
kertas yang bertuliskan “Paket Umroh ke Tanah Suci Makkah”. Dalam hati, ia
berpikir bahwa sang ibu nantinya akan senang menerima hadiah darinya. Ia ingin
membahagiakan ibunya. Namun, takdir berkata lain.
Tepat pukul 17.00 WIB,
Fahim kembali bergegas menuju ke ruang UGD. Melihat Farhan menangis sambil
memegangi kedua tangan ibunya. Sementara, ketiga kado yang ia pegang, lepas
begitu saja dari tangannya. Seisi ruangan ikut bersedih melihat keadaan ibunya
yang sudah meninggal. Ia menangis sekuat-kuatnya sambil memandangi wajah
ibunya.
“Ibu......maafkan Fahim bu! Fahim bawa
hadiah untuk ibu! Hadiah yang ibu inginkan dari dulu, Fahim membawanya untuk
ibu! Bangun Bu, Ibu jangan meninggal!”
Perlahan, ia mulai sadar
dan ikhlas atas kepergian ibunya menghadap Sang Pencipta. Ia berdoa, semoga sang
ibu bisa tenang di alam surga. Begitu sedihnya Fahim, di usia 15 tahun sudah ditinggal
kedua orang tuanya. Kini, hanya tinggal penyesalan. Tetapi ia bangkit dari rasa
penyesalan itu dengan memeluk sebentuk asa. Asa yang berpendar di ujung kisah
ini. Ia berharap dengan bakat dan karya yang dimilikinya bisa mengantarkan
namanya menjadi seperti seorang sastrawan Madura layaknya D. Zawawi Imron.
Instansi : SDN MANDING DAYA 1
Post a Comment